Senin, 23 Februari 2009

Doa yang diijabah mengikuti harapan sejati

Nabi saw bersabda:

ادعوا الله وانتم موقنون بالاجابة
“Berdoalah kepada Allah, dan kalian meyakini ijabah-Nya.”(kitab ‘Uddatud da’i)
Rasulullah saw bersabda dalam hadis qudsi:
أنا عند ظن عبدي بي، فلا يظن بي إلا خيرا

“Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku, maka janganlah ia berprasangka pada-Ku kecuali kebaikan.”
Allamah Thabathaba’i mengatakan: Dua hadis tersebut menjelaskan bahwa doa yang disertai putus asa atau keraguan, maka pada hakikatnya itu bukan doa. Karena yang menghalangi doa adalah sesuatu yang tidak ada, yakni sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki.
Rasulullah saw bersabda:
إفزعوا إلى الله في حوائجكم، والجأوا إليه في ملماتكم، وتضرعوا إليه وادعوه، فإن الدعاء مخ العبادة، وما من مؤمن يدعو الله الا استجاب فإما أن يعجله له في الدنيا أو يؤجل له في الآخرة، واما أن يكفر له من ذنوبه بقدر ما دعا ما لم يدع بمأثم
“Berlindunglah kepada Allah dalam hajat-hajatmu dan mohonlah pejagaan kepada Allah dalam bahaya-bahayamu, rendahkan dirimu kepada-Nya dan berdoalah kepada-Nya, karena sesungguhnya doa adalah inti ibadah. Tidak ada seorangpun mukmin yang berdoa kepada Allah kecuali Dia mengijabah doanya; Dia mensegerakannya di dunia atau menundanya di akhirat, mengampuni dosa-dosanya sesuai dengan kadar doanya walaupun ia tidak memohon ampunan dosa.” .(kitab ‘Uddatud da’i)
Dalam wasiat kepada puteranya Al-Husein (sa) Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata:
ثم جعل في يديك مفاتيح خزائنه بما اذن لك فيه من مسألته فمتى شئت استفتحت بالدعاء أبواب نعمه واستمطرت شئابيب رحمته، فلا يقنطنك إبطاء إجابته، فإن العطية على قدر النية، وربما اخرت عنك الاجابة ليكون ذلك أعظم لاجر السائل، واجزل لعطاء الامل، وربما سألت الشئ فلا تؤتاه واوتيت خيرا منه عاجلا أو آجلا أو صرف عنك لما هو خير لك، فلرب أمر قد طلبته فيه هلاك دينك لو أوتيته، فلتكن مسألتك فيما يبقى لك جماله، وينفي عنك وباله، والمال لا يبقى لك ولا تبقي له
“Kemudian Allah menjadikan di tanganmu kunci-kunci khazanah-Nya dengan permohonan yang telah Dia izinkan bagimu. Kapan saja kamu inginkan, mohonlah dibukakan pintu-pintu nikmat-Nya dengan doa dan mohonlah curahan rahmat-Nya. Janganlah penundaan ijabah-Nya menjadikanmu putus asa, karena sesungguhnya pemberian-Nya sesuai dengan kadar niat. Kadang-kadang ijabah-Nya diakhirkan bagimu, ia menjadi pahala yang lebih besar bagi orang yang bermohon dan menjadi pemberian yang lebih banyak bagi yang menginginkan. Kadang-kadang kamu memohon sesuatu lalu kamu tidak diberi atau diberi sesuatu yang lebih baik darinya, cepat atau lambat; atau pemberian itu dibelokkan darimu karena itu lebih baik bagimu. Betapa banyak urusan yang kamu harapkan, di dalamnya terdapat sesuatu yang merusak agamamu sekiranya itu diberikan padamu. Maka hendaknya kamu memohon sesuatu yang keindahannya abadi bagimu dan bahayanya dijauhkan darimu. Harta itu tidak kekal bagimu dan kamu tidak kekal bersamanya.” (Nahjul Balaghah)
Allamah Thabathaba’i mengatakan:
Maksud ucapan Imam Ali (sa): “Sesungguhnya pemberian-Nya sesuai dengan kadar niat”, adalah ijabahnya doa saling bersesuaian dengan doa; permohonan kepada Allah sesuai dengan apa yang diyakini oleh batin orang yang berdoa dan yang diungkapkan oleh hatinya. Inilah permohonan yang diberi oleh Allah swt, bukan permohonan yang diungkapkan oleh lisan dan dirangkai dalam kata-kata. Karena ungkapan lisan kadangkala tidak sesuai dengan bahasa nurani dan fitrah. Ucapan Imam Ali (sa), mengandung nilai sastra yang tinggi, struktur bahasanya sangat indah, dan kalimatnya mencakup keterangan tentang hubungan antara doa dan ijabah.
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) menjelaskan beberapa hal yang secara lahiriyah seolah-olah menunjukkan tidak adanya kesesuaian antara doa dan ijabah. Misalnya tentang penundaan ijabah, penggantian sesuatu yang dimohon di dunia dengan sesuatu yang lebih baik di dunia, atau dengan sesuatu yang lebih baik di akhirat, atau dengan pengalihan sesuatu yang dimohon pada sesuatu yang lain yang lebih maslahat bagi keadaan pemohon. Karena, kadang-kadang orang yang memohon kenikmatan yang menentramkan, justru kenikmatan itu tidak menentramkan baginya jika segera diberikan, karena itu ijabahnya ditunda.
Jika demikian, maka orang yang memohon kenikmatan itu, pada hakikatnya ia memohon ijabah doanya ditunda. Demikian juga seorang mukmin yang memperhatikan urusan agamanya, jika ia memohon sesuatu yang di dalam mengandung hal yang merusak agamanya sementara ia belum mengetahuinya dan mengira bahwa sesuatu itu membahagiakan dirinya, padahal kebahagiaanya adalah di akhirat. Maka, pada hakikatnya ia memohon kebahagiaan di akhirat, bukan di dunia, sehingga permohonannya diberikan di akhirat, tidak di dunia.
Disarikan dari Tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, jilid 2: 37-38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar